Kamis, 25 Juni 2009

Prinsip-prinsip pendidikan islam

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha untuk meningkatkan kecerdasan anak didik. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang sangat pokok bagi manusia. Maka dengan adanya suatu pendidikan yang baik diharapkan bisa membuat perilaku seseorang yang mulanya buruk menjadi lebih baik. Karena pendidikan juga bisa menjadi tolak ukur bagi manusia dalam tingkah laku sehari-harinya. Dengan kata lain pendidikan itu berusaha menyiapkan generasi-generasi muda untuk mengisi peranan-peranan tertentu dalam kehidupan. Sebelum memulai pembahasan pendidikan maka perlu adanya suatu pendekatan, metode dan teknik dalam pendidikan tersebut. Untuk menjelaskan pengertian tersebut maka di sini pemakalah sedikit akan memberi gambaran umum secara rinci definisi satu persatu dan beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan. Akan sangatlah penting bagi kita untuk mengkaji secara mendalam tentang prinsip-prinsip pendidikan islam. Karena hal itu menjadi dasar atau landasan dalam pendidikan untuk mencapai tujuan yang benar dalam kehidupan. Pada zaman sekarang ini sangat dibutuhkan ilmu pendidikan, karena katitan timbulnya suatu teknologi yang semakin maju dan berkembang, maka membuat manusia harus mengeyam pendidikan dengan baik. Dan kesemuanya itu dilakukan untuk memberi kontribusi pembentukan pola pendidikan demi mencapai sistem pendidikan yang didasari pada ajaran islam.
Dengan keterbatasan ilmu yang ada, dan dengan kesadaran akan kebenaran peribahasa yang mengatakan bahwa Tiada Gading Yang Tak Retak, pemakalah mengharapkan adanya komentar dan kritik yang membangun dari para pembaca.









BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah proses bertujuan, yang dilaksanakan untuk menghasilkan peserta didik agar memiliki pola-pola perilaku tertentu, juga bisa diartikan sebagai proses pentransferan ilmu kepada anak didik. Pendidikan tidak akan lepas dari adanya suatu tujuan, isi, pendekatan, metode dan teknik. Karena semua itu adalah syarat mutlak yang harus ada pada pendidikan, jika pendidikan tersebut ingin mencapai hasil yang maksimal. Pada dasarnya prinsip-prinsip pendidikan islam adalah segala sesuatu yang ada di dalam agam islam itu sendiri. Pendidikan dimaksudkan pertama kali untuk mengembangkan pola fikir seseorang dan perbaikan setiap individu dalam masyarakat. Pendidikan akan menjadikan manusia menjadi insan yang cerdas, karena dengan kecerdasan yang cukup manusia mampu untuk mengetahui hubungan faktor-faktor dan problema satu sama lain. Dengan kecerdasan orang mampu memecahkan suatu permasalahan dengan benar.
Ada beberapa prinsip dalam islam yang menjadi dasar atau pokok suatu pendidikan. Prinsip yang pertama adalah kebebasan. Kebebasan dalam pendidikan sangat diperlukan dalam pendidikan terhadap peserta didik. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pendidikan yang akan menentukan perkembangan kedepan. Peserta didik akan sangat bosan dan tidak aktif apabila tidak adanya kebebasan dalam suatu pendidikan. Maka perlu adanya kreatifitas seorang pendidik untuk memotivasi anak didik, diantaranya apakah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada si anak, apa ilmu yang mesti diberikan kepadanya, atau memberi keutamaan pada permainan, atau kecenderungannya kepada aspek-aspek aktivitas yang bermacam-macam. Tidak dapat diingkari bahwa kebebasan mutlak itu adalah anarki, dan bahwa ada hal-hal yang penting setiap warganegara memilikinya supaya ia menjadi yang baik, yang berguna untuk dirinya dan bangsanya.
Prinsip yang kedua adalah perkembangan. Pada dasarnya perkembangan itu sangat dibutuhkan islam dalam hal pendidikan. Karena salah satu tujuan islam dalam pendidikan adalah menginginkan adanya suatu perkembangan yang lebih baik, yang bisa meningkatkan kecerdasan setiap individu muslim. Dan ajaran-ajaran islam secara umum adalah signifikan atau sesuai untuk segala tempat dan waktu. Yang tidak boleh berubah adalah yang bersangkutan dengan aqidah seperti iman, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa dalam bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah bagi yang sanggup. Adapun pelaksanaan pendidikan tidak hanya terpaku pada satu tempat saja, boleh dilakukan di rumah atau sekolah, di waktu pagi ataukah sore, orang islam tidak hanya menekankan untuk belajar ilmu-ilmu akhirat saja akan tetapi ilmu-ilmu dunia juga. Itu semuanya tidak dihalangi oleh islam, bahkan menggalakkannya untuk kemaslahatan orang islam khususnya.
Prinsip yang ketiga disamping kebebasan dan perkembangan ialah persamaan peluang belajar. Prinsip ini telah ditengahkan oleh ahli pendidikan moderen, sekalipun asalnya sudah tua, setua dengan islam itu sendiri. Pada dasarnya islam adalah bersifat demokratis dan tidak mengenal sistem masyarakat yang bertingkat. Manusia itu sama derajatnya dan semuanya adalah makhluk ciptaan Allah, tidak membedakan antara orang arab dan yag tidak arab kecuali karena taqwa. Semua orang islam berdiri dihadapan Allah dalam sembahnyang jama’ah dalam taraf yang sama. Oleh karena semua umat islam diharuskankan untuk tahu dan mengerjakan ibadah, maka disinilah timbulnya kewajiban belajar, baik belajar di sekolah, rumah maupun masjid, karena seseorang tidak boleh terhalang pelajarannya.

B. Pendekatan Pendidikan

Pengertian pendekatan dalam proses pendidikan adalah seperagkat asumsi-asumsi yang antara satu dan yang lainnya saling terkait. Pendekatan juga bisa diartikan sebagai cara pandang. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap arah dan orientasi pendidikan. Karena pendekatan ini yang akan menentukan pendidikan kearah yang diinginkan. Dan dari asumsi-asumsi tersebut, akan terbentuk bingkaian umum bagi sebuah pendekatan yang dari pendekatan ini akan lahir sebuah metode atau beberapa metode sebagai manifestasi dari sebuah pendekatan. Karena kedua ini merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pengajaran.
Terdapat beberapa pendekatan dalam suatu pendidikan, yang diantaranya adalah:

1. Pendekatan Empiris

Pendekatan empirisme yang dipelopori john locke mengajarkan bahwa perkembangan ditentuka oleh faktor-faktor lingkungan, terutama pendidikan. Setiap individu yang lahir adalah bagaikan kertas putih yang kosong, dan lingkungan itulah yang akan menulisi kertas putih tersebut. Setiap tingkah laku individu seperti dalam pendidikan merupakan hasil dari suatu lingkungan. Karena pandangan yang bersifat empiris ini mengatakan bahwa faktor pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi setiap orang. Setiap lingkungan pasti dapat diatur dan dikuasai oleh manusia.
Ada beberapa faktor yang membuat manusia bisa berkembang dan itu tergantung pada lingkungannya. Apabila lingkungan itu tidak bagus, maka bisa mempengaruhi pola pikir manusia termasuk dalam hal pendidikan. Sebaliknya apabila lingkungan itu baik, maka pendidikan yang akan diterima seorang anak didik juga akan baik. Jadi dalam pandangan ini lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan berkembang atau tidaknya suatu pendidikan.

2. Pendekatan Nativisme

Pandangan nativisme ini mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh hereditas, yaitu faktor dalam yang bersifat kodrati atau manusia mempunyai bakat mulai dari lahir yang bersifat turun menurun oleh nenek moyang mereka dahulu. Faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan itulah kepribadian manusia. Tanpa adanya potensi-potensi hereditas yang baik, seseorang tak mungkin dididik dengan maksimal. Seorang anak yang potensinya rendah, akan tetap rendah, meskipun ia sudah dewasa dan telah dididik. Pendidikan tidak merubah manusia, karena potensi itu bersifat kodrati. Jadi pandangan ini menekankan setiap individu itu tetap tidak akan berkembang dalam suatu pendidikan, apabila asalnya itu bodoh maka dia tidak akan bisa merubah kodratnya karena bersifat terwaris.



3. Pendekatan Konvergensi

Pendekatan konvergensi merupakan perpaduan antara pendekatan empiris dengan nativisme. Suatu kenyataan, bahwa potensi hereditas yang sangat baik saja tidak akan cukup tanpa adanya pengaruh linkungan (pendidikan) yang positif untuk menghasilkan pribadi yang ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan pendidikan yang positif dan maksimal, tidak akan bisa menghasilkan kepribadian yang ideal, tanpa adanya potensi hereditas yang baik. Oleh karena itu, dalam perkembangan pendidikan akan sangat diperlukan kedua faktor tersebut baik eksternal seperti pendekatan empiris (lingkungan) maupun internal seperti nativisme (kodrat).

B. Metode Pendidikan

Metode secara umum adalah segala hal yang termuat dalam setiap proses pengajaran, baik itu seperti pengajaran matematika, kesenian, olah raga, ilmu alam, dan lain sebagainya. Dan metode juga bisa diartikan sebagai sistematika umum bagi pemilihan, penyusunan, serta penyajian suatu materi. Serta yang harus diperhatikan dalam menentukan metode, hendaknya tidak terjadi benturan antara metode dengan pendekatan yang menjadi dasarnya.
Semua proses pengajaran yang baik maupun jelek pasti memuat berbagai usaha, memuat berbagai aturan serta di dalamnya terdapat sarana dan gaya penyajiannya. Dan tidak mungkin sebuah proses pengajaran tanpa adanya usaha untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik.
Pendidikan akan sangat penting dan menjadi efisien, jika semua itu dilakukan dengan cara-cara tertentu atau metode khusus. Apabila tidak ada metode khusus yang diterapkan dalam pendidikan secara efektif, maka akan sia-sia waktu atau malah menghambat suatu pembelajaran tersebut. Peranan metode sangatlah besar terhadap tumbuh kembangnya suatu pendidikan. Ketidak tepatan dalam menerapkan suatu metode akan membuat proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal. Kemudian perlu diketahui bahwasannya dalam pendidikan sebaiknya diterapkan suatu metode secara bertahap, mulai dari yang sederhana menuju yang kompleks merupakan prosedur kependidikan yang positif. Metode sangatlah beragam dalam penyampaiannya, setiap pendidikan disekolah pasti mempunyai metode-metode yang berbeda dan berfarisai namun tujuannya tetap sama yakni menginginkan pendidikan yang berkembang dan maju.
Akan sangat menarik bila mempelajari beberapa metode dalam pendidikan. Karena sangat banyak dan berfariasi metode-metode yang digunakan dalam pendidikan sekarang. Terdapat bebarapa metode dalam pendidikan yang meliputi:
1. Hendaknya metode yang digunakan sesuai dengan karakter siswa, tingkat perkembangan akalnya, serta kondisi sosial yang melingkupi kehidupan mereka.
2. Guru hendaknya memperhatikan kaidah umum dalam menyampaikan pelajaran seperti kaidah bertahap dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana ke yang rumit, dari yang jelas ke yang membutuhkan interpretasi, serta dari yang kongkrit ke yang bersifat abstrak.
3. Mempertimbangkan perbedaan kemampuan siswa baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.
4. Bisa menciptakan situai yang kondusif sepanjang tahapan-tahapan pelajaran, sekiranya bisa mengikut sertakan siswa dalam mendapatkan pertanyaan dan menyampaikan jawaban, mengemukakan pikiran dan pengalaman yang lalu, serta menjauhkan hal-hal yang bisa mengakibatkan siswa berpaling dari pelajaran dan mendatangkan kejenuhan.
5. Menumbuhkan konsentrasi dan motivasi siswa serta membangkitkan sikap kreatif.
6. Metode yang dipakai bisa menjadikan pembelajaran lebih hidup seperti adanya permainan yang menyenangkan dan aktifitas yang bermanfaat.
7. Hendaknya metode menganut dasar-dasar pembelajaran, sseperti pemberian reward dan sangsi, latihan, senang, dan mampu untuk melakukan sesuatu.
Selain itu dalam islam juga telah diberikan sebuah gambaran yang sangat jelas mengenai pendidikan melalui Al-Qur’an tentang bagaimana metode atau cara yang baik dan tepat untuk diterapkan dalam pendidikan sehingga mencapai tujuan yang diinginkan. Dan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Metode cerita dan ceramah. Cerita tentang kejadian, terutama suatu peristiwa sejarah, merupakan yang paling banyak ditemukan didalam Al-Qur’an.

Sebagaimana dalam surat Yusuf ayat 111 yang artinya, “oleh karena itu, ceritakanlah kisah-kisah kesejahteraan itu agar mereka mau berfikir”.
2. Metode diskusi, tanya jawab dan dialog. metode ini merupakan metode yang sering dipakai dalam pendidikan sekarang ini. Di dalam al-qur’an banyak ayat yang menunjukkan adanya dialog atau diskusi yang banyak sekali manfaatnya.
3. Metode perumpamaan atau metafora. Pemikiran ini juga dapat diterapkan sabagai metode dalam pendidikan. Dengan perumpamaan, pendidikan akan lebih mudah bagi seseorang dalam memahami suatu permasalahan.
4. Metode simbolisme verbal. Dalam metode ini biasanya menggunakan kata-kata dalam menyampaikan pesannya. Dan metode ini kebanyakan mempunyai tujuan untuk mendorong manusia agar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan peranan dominan akan kekuatan indera manusia untuk membuka wawasan melalui metode, untuk memerankan indera-inderanya dalam rangka memperluas simbolisme verbal.
5. Metode hukuman dan ganjaran. Relevansi hukuman dan ganjaran bagi tabi’at manusia menjadi lebih jelas ketika dipandang dalam hubungannya dengan tanggung jawab dan tugas manusia. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa hukuman dan ganjaran dengan kuat dihubungkan dengan tanggung jawab manusia. Dengan cara memberi hukuman, maka diharapkan agar anak didik terdorong untuk lebih menjaga diri dari sifat bodoh. Juga dengan cara memberi suatu iming-imingan berupa ganjaran, maka diharapkan agar anak didik terdorong untuk berfikir lebih berkembang.











BAB III
KESIMPULAN

Prinsip-prinsip, pendekatan, dan metode adalah satu sistem yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena semua itu merupakan pokok dari pendidikan. Prinsip adalah suatu pegangan dalam mengerjakan sesuatu termasuk pendidikan. Dalam suatu pendidikan harus mempunyai suatu prinsip-prinsip yang jelas. Demi terciptanya suatu pendidikan yang efektif. Karena prinsip adalah salah satu faktor yang bisa membuat suatu pendidikan menjadi berkembang dan maju.
Pendekatan merupakan seperangkat asumsi atau beberapa pernyataan yang untuk dijadikan dasar dalam suatu pendidikan. Pendekatan sangat diperlukan, karena akan menentukan arah dan orientasi pendidikan. Dari beberapa asumsi tersebut akan menjadi bingkai umum bagi sebuah pendidikan yang dari pendekatan itu akan melahirkan sebuah metode atau beberapa metode sebagai manifestasi sebuah pendekatan.
Metode atau cara adalah suatu strategi dalam pendidikan yang harus ada. Dalam pendidikan ada banyak sekali metode yang dipakai mulai dari yang mudah sampai yang sulit sekalipun. Metode sangat dibutuhkan karena peranannya yang sangat penting terhadap perkembangan pendidikan.
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa pendekatan dan metode adalah satu sistem yang tidak bisa dipisahkan demi mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Atau dengan kata lain pendekatan itu sesuatu yang abstrak, sedang kongkritnya adalah tercermin dalaa metode. Dan itu semua tidak akan bisa dicapai sebelum adanya suatu prinsip-prinsip tertentu dalam pendidikan.










Daftar Pustaka

Abdur Rahman Shalih Abdullah, 1991. “Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Qur’an serta Implementasinya”. Bandung: Cv Diponegoro.
Imam Barnadib, 1986. “Filsafat Pendidikan (Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan)”. Yogyakarta: Andi Offset.
Hasan langgulung, 1985. “Pendidikan dan Peradapan Islam”. Jakarta: Al Husna.
Mohammad Noor Syam, 1986. “Filsafat Pendidikan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”. Surabaya: Usaha Nasional.
Abdul Hamid, 2008. “Pembelajaran Bahasa Arab Pendekatan, Metode, Strategi, Materi, dan Media”. Yogyakarta: Sukses Offset.

METODE PENELITIAN SOSIOLINGUISTI

IHWAL METODE PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK

1. Pendahuluan
Istilah metode penelitian dan beberapa istilah yang berhampiran dengannya merupakan istilah-istilah kunci dalam literatur metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial. Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik (Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32) . Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian.
Dari sejumlah literatur tersebut, baik ilmu bahasa maupun ilmu sosial, ditarik satu pemahaman bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian. Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.
Dalam ilmu sosial, langkah-langkah penelitian yang penting berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Hal ini agaknya dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks. Walaupun demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan data, bahkan penyajian hasil analisis. Metode penyajian hasil analisis juga dipandang penting karena ada soal yang agak berbeda terhadap penyajian data bahasa dengan bahasa (metabahasa). Dalam ilmu bahasa, metode penyajian hasil analisis dilakukan dengan visualisasi verbal (rumusan kata-kata biasa) dan visualisasi nonverbal seperti penyajian sistem tanda.
Berangkat dari pertimbangan istilah-istilah di atas, setiap peneliti perlu memperhatikan esensi objek kajian dalam sebuah penelitian. Objek kajian (object of study) adalah sesuatu atau apa yang ingin diteliti. Hymes (dalam Garvin, 1970 : 252) mengatakan jika sebuah bahasa dijadikan objek kajian, bahasa itu hanyalah gerbang masuk dan pendahuluan ke arah penelitian yang sebenarnya. Fokus kajian bahasa itu adalah isi bahasa. Apa yang menjadi isi bahasa dalam konteks masyarakat misalnya adalah basa-basi, makian, sapaan, latahan, sanjungan, dan sebagainya. Objek kajian dalam sosiolinguistik ini nyaris tidak terbatas karena begitu banyak jumlahnya. Seorang peneliti diharapkan jeli melihat objek kajian yang menarik untuk kepentingan manusia (humanities) pemakainya daripada hanya untuk ilmu itu sendiri.
Kadang-kadang objek kajian dipahami sama dengan topik atau tema dalam kajian sosiolinguistik, tetapi sering pula berbeda. Dalam perspektif sosiolinguistik, topik cenderung lebih luas dan berkorelasi dengan faktor-faktor sosial budaya, misalnya sapaan hormat (honorifik) dalam masyarakat Jawa. Pengertian masyarakat Jawa bisa dikaitkan dengan penutur yang berbeda status sosial, umur, atau jenis kelaminnya. Namun demikian, topik yang sudah cukup panjang ini bisa pula disebut objek kajian. Selain objek kajian dan tema (topik), judul sebuah penelitian juga menarik untuk dicermati.
Judul bisa diacu dari objek kajian, atau tema penelitian. Hanya saja ada preferensi sekelompok ilmuwan yang menganggap bahwa judul yang berasal dari topik atau objek kajian tidak merangsang selera untuk ingin tahu objek tersebut lebih jauh. Berdasarkan pengamatan yang berkembang belakangan ini, ada kecenderungan judul yang menarik adalah judul yang berasal dari hasil analisis, misalnya”Diskriminasi Sosial Masyarakat X dalam Sistem Sapaan” adalah judul yang berasal dari hasil analisis tema sapaan hormat (honorifik). Ada pendapat yang mengatakan sebuah judul yang menarik adalah judul yang merangsang orang untuk berpikir (thought provoking), atau tidak dapat diramalkan (unpredictable) sebelumnya.
Selain berkaitan dengan istilah pokok dalam sebuah penelitian, perihal paradigma dan asumsi sosiolinguistik perlu dicamkan dalam benak peneliti agar esensi kajian bahasa dan masyarakat sosial ini tidak melenceng jauh dari relnya atau sekurang-kurangnya tidak menjadi bias. Pertama, kaum sosiolinguis berpendapat bahwa paradigma masyarakat homogen tidak pernah ada karena setiap masyarakat bahkan setiap individu berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dianut satu paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat selalu heterogen. Dengan heterogenitas inilah pilihan kode bahasa itu menjadi bermacam-macam. Ada bentuk yang ringkas, ada yang lengkap, ada yang formal, ada pula yang informal, ada bentuk yang santun ada pula yang kasar, atau gradasi lain di antaranya. Di samping itu, ada dua asumsi pokok yang perlu dipahami sebelum melakukan penelitian sosiolinguistik, yaitu asumsi bahwa (1) penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, dan (2) bahasa selalu mempunyai variasi. Karena bahasa harus dihubungkan dengan nonbahasa, maka ancangan penelitian sosiolinguistik mestinya kontekstual. Demikian pula, karena konsep masyarakat dipahami heterogen maka bahasa pasti memiliki variasi. Secara deskriptif, varian bahasa yang satu diperlakukan sama dengan varian yang lain. Pemahaman ini perlu dipertegas karena berdasarkan paradigma masyarakat yang homogen, adanya variasi karena bersumber dari bentuk pemakaian bahasa yang seharusnya, bahkan ada pendapat yang menyatakan secara ekstrem bahwa variasi bahasa terjadi karena kesalahan pemakaian bahasa. Pendapat ini sama saja ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada variasi bahasa.

2. Beberapa Dimensi Penelitian Sosiolinguistik
Dimensi adalah kisi-kisi yang dapat membangun kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Ada beberapa dimensi yang penting untuk diketahui sebelum langkah-langkah penelitian dilakukan sehubungan dengan penggunaan metode yang seharusnya dipilih sesuai tujuan penelitian atau tujuan analisis. Sekurang-kurangnya ada 3 dimensi, yaitu dimensi pemerian (to describe the object), dimensi penjelasan (to explain the object), dan dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) .
Dimensi deskriptif cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada waktu diamati. Pada prinsipnya hasil pengamatan bahasa dalam dimensi ini digambarkan secara objektif berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa yang diharapkan (not what you expect to). Hasil penelitian deskriptif sering pula disebut etnografi (komunikasi atau berbicara). Dalam kaitan ini, peneliti akan melihat sifat-sifat objek yang diamati, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/ partikularitas). Dalam mengamati fenomena bahasa dalam masyarakat hampir dapat dipastikan, sang peneliti dapat menguraikan ihwal keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi. (Perihal kesemestaan sosiolinguistik lihat Janet Holmes, 1992). Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa (speech community) yang berbeda.
Dimensi eksplanatif melihat bahasa tidak an sich pada apa yang dilihat, tetapi lebih dari itu. Dalam dimensi ini, peneliti berusaha menjelaskan mengapa objek yang diamati demikian faktanya. Peneliti harus menjelaskan sebab-akibat (lantaran-tujuan) mengapa objek itu tampak demikian. Untuk menjelaskan objek kajian ini, peneliti bisa menarik bahasa ke luar dari titik waktu yang ia lihat, artinya bisa secara diakronis dan bisa pula secara sinkronis. Asumsinya yang perlu diingat adalah bahwa penjelasan bahasa karena bahasa itu adalah proposisi yang tidak memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa bahasa disebabkan atau menyebabkan unsur-unsur luar bahasa. Secara kongkret, penjelasan hubungan kausalitas ini dipandang lebih memuaskan dari sekadar dimensi deskriptif. Misalnya, untuk objek kajian apologi (permaafan), peneliti memberi penjelasan mengapa seseorang dituntut minta maaf atau memberi maaf. Penjelasan ini bisa menyangkut alasan kesalahan, ketersinggungan atau penyelaan, atau sekadar kesopanan..
Dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) tampak mirip dengan kedua dimensi di atas. Namun demikian, dimensi ini agaknya bisa diperinci ke dalam tiga aspek, yaitu aspek temporal, aspek lokatif dan aspek material. Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek temporal menyangkut waktu kosmis dan waktu biologis. Pertama, ketika sebuah objek diamati, objek itu bisa dilihat dari realitas waktu kosmis yang bergulir dari waktu lampau, kekinian, dan masa datang. Untuk kasus permaafan, orang bisa meminta maaf karena peristiwa yang telah terjadi (mis. Maaf kemarin saya lupa...), atau karena peristiwa kekinian (maaf numpang tanya), dan karena peristiwa yang akan terjadi (misalnya maaf besok nggak bisa datang, dsb.). Dari aspek kosmis semacam ini, peneliti bisa mengkategorisasikan jenis apologi ke dalam 3 jenis, misalnya apologi normatif, apologi permisif, dan apologi antisipatif. Kedua, objek bisa pula diamati berdasarkan waktu biologis, yaitu berdasarkan perkembangan waktu yang dijalani manusia, dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Ketika orang mengamati pemakaian kelompok penutur balita, bahasa akan dijelaskan berdasarkan konteks waktu biologis ini, dst.
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek lokatif berkaitan dengan pemakaian ruang komunikasi (spasial). Ada pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh aspek lokatif ini, misalnya objek pemakaian bahasa pada kampanye dengan percakapan keluarga akan menempati ruang yang berbeda, yang satu pada ruang publik yang yang lain pada ruang domestik. Demikian pula, jika orang mengamati fenomena pemakaian bahasa pada demonstrasi dengan talk-show akan berbeda ruang komunikasinya, yang pertama biasanya pada ruang luar gedung (outdoor) dan yang terakhir biasanya pada ruang dalam gedung (indoor).
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek material menyangkut satuan pengisi ruang dan waktu di atas, yaitu bagaimana bahasa menjadi interaksional dalam wacana atau teks. Pengisinya adalah bahasa (dalam wujud teks) itu sendiri dan penuturnya (sebagai pengguna teks). Aspek pengisi ruang dan waktu komunikasi ini sangat signifikan menentukan pilihan kode tuturan, orang yang berbeda akan memilih kode yang berbeda atau sama, demikian pula bahasa yang berbeda akan berdampak sama atau berbeda pada makna, maksud, dan fungsinya. Karena begitu banyak aspek-aspek yang dapat membantu analisis pemilihan varian bahasa, Dell Hymes (1972) mengajukan instrumen analisis yang apik dan mudah diingat dalam bentuk singkatan SPEAKING (masing-masing setting-scene, participants, ends, act sequence, key, instruments, norms, dan genre).

3. Kartu Truf buat Peneliti
Sebuah penelitian yang berhasil dapat dikaitkan dengan kemampuan si peneliti merumuskan masalah, mengukur keterjangkauan (aksesibilitas penelitian), dan memprediksi keuntungan yang diperoleh pascapenelitian. Apabila peneliti telah berhasil memecahkan ketiga hal ini dapat dikatakan bahwa peneliti telah memegang kartu truf.
Pertama, soal perumusan masalah bukan tanpa masalah. Setelah objek kajian ditentukan, peneliti harus cermat melihat masalah apa yang perlu diangkat. Perumusan masalah ini penting karena tanpa masalah tidak akan ada pemecahan masalah. Artinya tidak ada masalah tidak ada penelitian. Kehandalan seorang peneliti merumuskan masalah dapat ditentukan dari pemahaman dasarnya terhadap konsep makro dalam sosiolinguistik, yaitu bermula dari pemahaman tentang masyarakat bahasa yang terpilih, pemerian etnografi komunikasi hingga etnografi berbicara, pengamatan terhadap situasi tutur, peristiwa tutur dan kemudian tindak tutur yang dipakai. Secara mikro, satuan bahasa berupa tindak tutur itu dilihat sebagai satuan lainnya, yaitu satuan bentuk, makna, informasi, maksud dan fungsi. Dasar-dasar unsur kebahasaan ini kemudian dicermati apakah ada masalah yang dikaitkan dengan objek kajian. Sebagai ilustrasi, seorang peneliti yang memilih objek penelitian ’makian’ dalam masyarakat Indonesia, misalnya, akan berpikir pada pilihan-pilihan bentuk makian yang dikaitkan dengan heterogenitas masyarakat penuturnya. Pilihan makian oleh laki-laki diasumsikan berbeda dengan pilihan makian oleh perempuan. Demikian pula, pilihan makian yang berdasarkan situasi atau peristiwa tutur tertentu akan berbeda dengan situasi atau peristiwa tutur lainnya. Kemudian, peneliti bisa pula berpendapat bahwa pilihan makian akan berhubungan dengan referen yang diacunya berdasarkan perspektif bentuk atau makna tuturan, bahkan informasi, maksud dan juga fungsi. Semua persoalan ini oleh peneliti dapat diangkat sebagai masalah penelitian yang perlu dicarikan pemecahannya. Perumusan masalah penelitian lazimnya diajukan dalam pertanyaan misalnya (a) apakah laki-laki dengan perempuan memakai bentuk makian yang sama atau berbeda dalam komunikasi?, (b) apakah tingkat kekasaran makian dapat ditentukan oleh faktor situasi dan peristiwa tutur?, dan seterusnya.
Kedua, setiap peneliti pasti memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini berkaitan dengan waktu, dana, kemampuan aksesibilitas terhadap sumber data. Logikanya semakin panjang waktu yang dialokasikan tentunya akan semakin banyak masalah yang dapat dipecahkan. Sebaliknya, semakin pendek waktu semakin sedikit masalah yang akan terpecahkan. Demikian halnya dengan dana, semakin lama waktu dan semakin rumit masalah penelitian, tentunya semakin besar biaya yang diperlukan baik untuk hidup maupun untuk menyediakan berbagai bahan penelitian. Selain waktu dan dana, keterbatasan aksesibilitas seseorang juga tidak dapat dipungkiri karena semakin mudah akses seseorang mendapatkan data semakin cepat penelitian dapat diselesaikan. Logika ini secara sederhana dapat dicontohkan ketika seorang peneliti yang berbahasa Indonesia akan lebih mudah baginya meneliti bahasa itu daripada meneliti bahasa lain seperti bahasa Jepang, bahasa Inggris atau bahasa Yoruba di Afrika. Namun demikian, bagi penutur bahasa Jepang akan mudah meneliti bahasanya sendiri daripada bahasa Indonesia. Tidak hanya menyangkut bahasa saja, seorang peneliti yang hidup di lingkungan tertentu akan lebih mudah meneliti lingkungannya sendiri daripada lingkungan yang tidak pernah ia ketahui. Oleh karena itu, pandangan terhadap keterbatasan ini sangat relatif sifatnya. Si A bisa lebih cepat melakukan penelitian X, si B belum tentu dapat melakukannya, dan sebaliknya.
Terakhir, ada baiknya seorang peneliti mempertimbangkan apa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pascapenelitian. Pada dasarnya, kajian sosiolinguistik ingin memperoleh pemahaman terhadap objek bahasa yang dikaitkan dengan aspek nonbahasa, di samping mengkonfirmasi proposisi bahwa bahasa memiliki variasi-variasi. Namun demikian, sejumlah keuntungan lain dapat dikemukakan sesuai dengan objek kajian yang dipecahkan. Sekadar contoh, peneliti dapat menggambarkan realitas bahasa yang kompleks dalam masyarakat, dapat menunjukkan hubungan kausalitas antarvariabel, atau dapat mencarikan generalisasi atau kekhasan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara praktis, agaknya penelitian sejenis dapat menemukan sumber terjadinya kedamaian atau konflik yang disebabkan oleh pemakaian bahasa, dapat menjelaskan tren-tren sosial seperti media, politik, militer, transportasi, hiburan dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu. Bahkan, peneliti dapat menyumbangkan hasil penelitiannya terhadap upaya untuk mengembangkan atau mengujikan teori dan metode sosiolinguistik itu sendiri.

4. Metode Penyediaan Data Sosiolinguistik
Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat). Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik.
Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih.
Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.
Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-12) . Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).
Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara pengamatan berdasarkan metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara kontekstual. Dikatakan murni secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks tanpa melihat kehadiran penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa dalam lagu, cerpen, novel, komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut menggunakan bahasa yang dipahami si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu menghadirkan kembali konteks sosial budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu. Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti bahwa peneliti mengamati teks lengkap dengan konteks ketika bahasa itu dipakai.
Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dari pemilihan bahan ini jelas disebutkan bahwa bahan menentukan jenis penelitian. Secara umum dipahami bahwa penelitian lapangan dipandang lebih meyakinkan daripada penelitian kepustakaan. Pandangan ini cukup beralasan karena penelitian kepustakaan yang bersumber dari teks hasil karya manusia atau hasil salinan diasumsikan tidak seobjektif penelitian lapangan yang bersumber langsung pada interaksi penutur bahasa pada konteks pemakaiannya. Karena sifat bahan penelitian ini pula dikenal bahwa penelitian kepustakaan sebagai penelitian sekunder, sedangkan penelitian lapangan sebagai penelitian primer.
Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap.
Ada perbedaan yang menyolok antara metode observasi partisipasi dengan nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara nonpartisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan suporter bola voli maka dia bisa melakukannya tanpa terlibat langsung sebagai pemain voli. Ia bisa saja berdiri atau duduk manis sebagai penonton dan mengamati teriakan-teriakan yang muncul dari para pendukung olahraga tersebut. Sebaliknya jika si peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan para pemain bola voli tersebut sebaiknya ia terlibat langsung menjadi pemain, artinya ia menggunakan metode observasi partisipasi karena dengan menjadi pemain kemungkinan ia menerima atau melontarkan teriakan. Keuntungan lainnya ia dapat merasakan emosi antarpemain tanpa teman-temannya mengetahui bahwa ia sedang meneliti. Agar semua situasi dan peristiwa tutur yang teramati ini bisa diingat maka peneliti perlu memikirkan bagaimana semua teks dan konteks itu bisa didokumentasikan. Ia bisa saja memilih teknik rekaman dengan memakai alat perekam atau memilih teknik catat dengan memakai catatan tentu saja teknik terakhir ini dikerjakan setelah pertandingan usai.
Selain metode observasi, metode kedua yang paling dikenal adalah metode wawancara (interview method). Penamaan metode wawancara ini jauh lebih umum daripada metode konsultatif seperti dijumpai dalam ensiklopedi bahasa dan linguistik karya Asher (1994: 3256), atau metode cakap seperti yang dikemukakan dalam buku metode penelitian linguistik karya Sudaryanto (1993). Penggunaan istilah wawancara dipandang lebih luas dan lentur daripada sekadar konsultasi atau cakap.
Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung. Dikatakan secara langsung karena hanya tim peneliti saja yang dapat melakukan wawancara, baik ketua peneliti atau para asistennya. Hal ini perlu digarisbawahi karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks. Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti. Informasi yang diberikan itu disebut data oleh peneliti.
Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial , satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur (structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing method).
Kadang-kadang metode wawancara terstruktur disamakan dengan metode angket atau metode kuesioner karena menggunakan daftar pertanyaan. Sebenarnya keduanya sangat berbeda. Berdasarkan perkembangan kajian metodologi, antara metode wawancara dan metode angket ini sudah seharusnya dipisahkan dan dipandang sebagai metode sendiri-sendiri. Lazimnya metode angket ini dipergunakan untuk mendapatkan poling suara atau mendapatkan penjelasan dari responden. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa metode angket adalah metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan atau tanpa bertatap muka secara langsung. Peneliti bahkan bisa saja tidak mengenali para respondennya. Responden dibedakan dengan informan berkaitan dengan jenis metodenya. Pemberi informasi secara tertulis semacam ini disebut responden, tetapi pemberi informasi secara lisan dan bertatap muka secara langsung dengan penelitinya disebut informan.
Penelitian yang menggunakan angket pada hakikatnya adalah penelitian dengan jumlah sampel yang relatif besar. Berbeda dengan metode wawancara, metode angket lebih lama waktu pelaksanaannya. Kadang-kadang angket yang diberikan dengan cara dikirim via pos tidak sampai ke tangan peneliti. Oleh karena itu, ada spekulasi. Untuk mengatasinya peneliti harus mempersiapkan sejumlah besar orang yang akan diberikan angket berdasarkan metode pengambilan sampel. Cara gampang pemberian angket justru dilakukan secara langsung, setelah pertanyaan diisi dengan lengkap peneliti atau asisten peneliti mengumpulkannya untuk kemudian ditabulasi.
Teknik penyusunan angket bergantung pada jawaban apa yang ingin diperoleh. Jika peneliti menginginkan jawaban kuantitatif berupa penghitungan jumlah pendapat atau perilaku maka si peneliti membuat pertanyaan yang jawabannya bergradasi, misalnya pada pertanyaan ”apakah bentuk sapaan X menurut Anda sangat santun?, pilihan jawabannya bisa berupa (i) sangat setuju, (ii) setuju, (iii) ragu-ragu, (iv) tidak setuju, dan (v) sangat tidak setuju. Dengan pertanyaan yang sama, pilihan jawabannya bisa pula diberikan sebagai berikut: (i) ya, (ii) netral, (iii) tidak. Namun demikian, jika peneliti menginginkan jawaban kualitatif berupa penjelasan makan si peneliti perlu membuat pertanyaan yang sifatnya esei. Misalnya, mengapa Anda menggunakan sapaan X?, dengan pertanyaan ini responden akan menjawab alasan-alasannya.
Selain tiga jenis metode penyediaan data yang telah dibicarakan di atas, sebenarnya ada satu jenis metode lain yang khas dalam penelitian linguistik, yaitu metode intuisi. Dalam literatur lain metode ini disebut metode introspeksi (Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005: 101). Metode intuisi adalah metode penyediaan data dengan cara membangkitkan sendiri data kebahasaan yang dimiliki peneliti dengan mengandalkan intuisinya.
Menurut Asher (1992) penyediaan data dengan metode ini memang relatif cepat, namun hasilnya sangat mungkin bersifat idiosinkretik (gaya tutur individu yang mungkin saja merupakan kesalahan bagi orang lain), sebagaimana diungkapkan Schriffin (1987), ”People tend to be more creative than linguists can imagine.” Dalam hubungannya dengan penelitian sosiolinguistik, metode intuisi yang mengandalkan kemampuan parole pribadi penelitinya dipandang tidak valid kecuali bersama-sama dengan peneliti lain guna mendapatkan informasi kolektif dalam komunitas sosial tertentu. Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).
Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika Anda ingin meneliti ’pemakaian bahasa pada waktu bercinta’ agaknya mengandalkan metode observasi akan mengalami kegagalan, mungkin metode wawancara atau metode angket bisa berhasil tetapi dapat diprediksi bahwa informan atau responden agaknya tidak akan membuka habis rahasia kehidupan pribadinya. Agaknya metode intuisi justru akan lebih berhasil karena itikad peneliti atau tim peneliti untuk mengungkap objek kajian ini cukup tinggi sehingga mereka mampu membuka tabir teks dan konteks objek kajian yang dimaksud.

5. Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan budaya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya (uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga dipandang sebagai unsur nonverbal. Ko-teks menempati posisi sebelum atau setelah teks verbal yang dikaji. Selain ko-teks, konteks amat penting dalam mengurai dan menjelaskan fenomena objek kajian. Konteks disepakati sebagai unsur nonbahasa.
Sebenarnya ada aspek lain selain ko-teks dan konteks yang terdapat pada data penelitian. Aspek lain itu adalah aspek suprasegmental seperti intonasi, tekanan atau titi nada. Aspek suprasegmental ini penting dalam korpus data bahasa lisan ketika seseorang mengamati penuturan satuan bahasa itu. Orang yang sedang marah berbeda pilihan kata dan cara penuturannya dari orang yang sedang dimabuk asmara, demikian pula orang yang sedang berpidato di depan publik berbeda penggunaan bahasanya dengan orang yang sedang melakukan dialog, dan seterusnya. Karena itu pula, terdapat pemetaan varian yang sangat signifikan karena faktor suprasegmental ini.
Dengan demikian, sesungguhnya seorang peneliti bahasa seyogyanyalah ia menempatkan posisi objek kajian yang diteliti itu dengan jelas atau kasat mata. Objek kajian hadir dalam tiga komponen pembentuk bahasa yaitu ko-teks (verbal), konteks (nonverbal), dan suprasegmental. Ketika seseorang ingin mengamati penggunaan bahasa yang hidup tentu berdasarkan tujuan peneltiannya maka ia melibatkan aspek suprasegmental bersama ko-teks dan konteks secara simultan. Sebaliknya ketika seseorang meneliti bahasa yang telah diubah ke dalam bentuk tulisan maka ia akan melihat bahasa itu sebagai fenomena yang berkorelasi secara ko-tekstual dan kontekstual.
Berangkat dari cara pandang data sosiolinguistik di atas, metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Cara kerja tiap-tiap metode ini sesungguhnya menggambarkan penamaan metode ini. Metode pertama dapat disebut metode korelasi atau metode pemadanan, sedangkan metode kedua disebut metode operasi atau metode distribusi. Ada sumber lain yang menyebutkan metode korelasi atau metode pemadanan ini sebagai metode kontekstual (Jendra, 1999), ada pula yang menyebutnya metode padan saja (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, metode operasi atau metode distribusi kadang-kadang disebut juga metode agih (Sudaryanto, 1993; Djajasudarma, 1993).
Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi (lih. Rakhmat, 1993: 31), metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas. Skema berikut dapat mengilustrasikan antarunsur yang dianalisis.

BAHASA  KONTEKS
(variabel dependen) (variabel independen)

Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya. Pada dasarnya, metode ini menganalisis antarunsur bahasa seperti digambarkan dalam skema di bawah ini.

BAHASA  BAHASA
(variabel dependen) (variabel dependen)

Baik metode korelasi maupun metode operasi sama-sama menjelaskan adanya variasi dalam kajian interdisiplin ini. Pemahaman ini dibuktikan oleh analisis substitusi unsur-unsur konteks atau bahasa secara umum. Sebagai contoh, pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar, dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk lainnya, dan seterusnya.
Secara lebih khusus, setiap unsur konteks situasi dan konteks sosial budaya akan sangat signifikan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh setiap tataran bahasa. Semakin banyak jenis variabel yang terlibat dalam analisis seperti umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, adat-istiadat, hingga pemakaian bahasa berjenjang dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana akan semakin kompleks analisis yang dihasilkan. Walaupun demikian, kerumitan analisis amat bergantung pada ruang lingkup penelitian dan masalah yang ingin dipecahkan. Kedalaman analisis kajian sosiolinguistik ditentukan oleh penggunaan metode operasi atau distribusi setelah pemakaian metode korelasi. Pemakaian metode korelasi saja sudah dapat dikatakan hasil analisisnya sebagai hasil analisis sosiolinguistik, namun penggunaan metode operasi atau distribusi saja belum tentu dapat dikatakan hasil analisis sosiolinguistik kecuali jika melibatkan isu-isu yang menyangkut masyarakat yang berbeda, misalnya isu kontak bahasa.
Berikut ini diuraikan beberapa contoh penelitian yang dapat dianalisis berdasarkan metode korelasi atau metode lainnya. Pilihan metode analisis ini bergantung pada alasan yang berkaitan dengan variasi bahasa sebagai tema sentral dalam penelitian sosiolinguistik. Karena variasi bahasa muncul berdasarkan fasilitas yang terdapat dalam tiap-tiap bahasa itu sendiri dan berdasarkan kebutuhan pemakainya, isu-isu sosiolinguistik dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) isu ragam intrabahasa (misalnya, standar-nonstandar, ringkas-lengkap, santun-solidaritas), dan (2) isu kontak antarbahasa (seperti, bilingualisme, alih kode, campur kode, interferensi).
Isu ragam intrabahasa menghasilkan analisis yang berkaitan variasi pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas. Gradasi standar-nonstandar (baku-tidak baku) misalnya dapat dianalisis berdasarkan hubungannya dengan ragam situasi (situation grading), ragam sosial (social-grading), bahkan ragam umur (age-grading) dan ragam jenis kelamin (sex-grading). Penghubungbandingan pemakaian bahasa dengan berbagai ragam ini jelas memakai kerangka kerja metode korelasi. Hasil penemuan Wolfram (1969, via Wardhaugh, 1986) di Detroit menyatakan bahwa semakin formal situasi tuturan, bahasa seseorang semakin mendekati penggunaan bahasa standar, dan semakin ke atas kelompok sosial penutur semakin standar pula bahasanya. Begitu pula halnya, bahasa anak-anak kurang formal daripada bahasa orang dewasa walaupun berasal dari latar belakang yang sama. Demikian juga, bahasa pria kurang standar daripada bahasa kaum wanita.
Sejumlah penelitian intrabahasa lain yang pantas dikemukakan di sini seperti penelitian Fisher (1958), dan Labov (1966) juga menggunakan metode korelasi dalam analisisnya (lih. Wardhaugh, 1986). Pertama, penelitian Fisher tentang variasi bunyi [Ĺ‹] dan [n] pada contoh singing /si Ĺ‹i Ĺ‹/ yang berlawanan dengan singin’ /si Ĺ‹in/ dikaitkan dengan sampel 12 orang anak laki-laki dan 12 anak perempuan yang berusia antara 3 s.d. 10 tahun di New England. Sampel yang ada diinterview menurut tiga situasi yang berbeda-beda, yaitu pada situasi yang sangat formal, kurang formal, dan tidak formal sama sekali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak laki-laki menggunakan lebih banyak bentuk /in’/ daripada anak perempuan. Kedua, penelitian Labov (1966) untuk disertasinya menghubungkan variabel linguistik [r] dengan status sosial pemakainya. Labov menggunakan sejumlah sampel dari tiga supermarket yang masing-masingnya tergolong supermarket kelas atas, menengah, dan kelas bawah. Diperoleh hasil bahwa informan kelas menengah ke atas lebih banyak melafalkan bunyi [r] pada kata /floor/ dan /fourth/ daripada informan kelas bawah pada kata yang sama.
Isu kontak antarbahasa terutama tema bilingual dapat dianalisis dengan metode korelasi. Bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk berbahasa lebih dari satu bahasa. Biasanya konsep bilingualisme mengacu pada dua bahasa, sedangkan multilingualisme mengacu pada tiga bahasa atau lebih. Karena isu bilingualisme menyangkut kemampuan bahasa seseorang maka isu ini pontensial dianalis dengan metode korelasi. Beberapa contoh menarik adalah penelitian Sorensen (1971, via Wardhaugh, 1986) dan Aikhenvald (2003) tentang kemampuan bilingual di Amazon (Brazil). Sorensen (1971) meneliti kemampuan berbahasa masyarakat Tukano di Barat Laut Amazon, tepatnya di perbatasan Kolumbia dan Brazil. Masyarakat Tukano adalah masyarakat yang bahkan multilingual karena laki-aki di sana harus menikah dengan perempuan dari kelompok bahasa yang berbeda. Laki-laki yang menikahi perempuan dari bahasa yang sama dipandang sebagai perkawinan sesama saudara (incest). Oleh karena itu laki-laki memilih menikahi dengan perempuan dari suku tetangganya. Ketika menikah sang istri dibawa ke rumah suami dan akhirnya istri pun harus bisa berbahasa keluarga suami termasuk anak-anaknya. Penelitian Aikhenvald (2003) merupakan lanjutan dari penelitian Sorensen (1970) dengan topik yang tidak jauh berbeda. Aikhenvald (2003) meneliti kemungkinan korelasi pilihan bahasa dengan stereotipe etnik penggunanya. Objek bahasa yang dikaji adalah bahasa Tariana yang dipakai oleh 100 orang di wilayah multilingual Lembah Vaupes di Amazonia Barat Laut (Brazil). Di wilayah itu juga terdapat bahasa Tucano (lingua franca), bahasa Baniwa (Bahasa Arawak) dan bahasa Portugis (bahasa Nasional). Seperti halnya pada masyarakat Tukano di perbatasan Kolumbia dan Brazil, wilayah ini juga dikenal eksogami kelompok bahasa dan kemultilingualan masyarakatnya terlembagakan. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa korelasi pilihan bahasa disebabkan oleh hubungan kekuasaan dan status.
Berbeda dengan penelitian di atas, isu kontak antarbahasa yang diteliti Arimi (2005a) berdasarkan analisis korelasi peribahasa dari 4 bahasa Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan 3 bahasa Asia (Cina, Indonesia, dan Jepang) dengan aspek perilaku dan motivasi masyarakatnya. Awalnya data dianalisis berdasarkan makna peribahasa, lalu diklasifikasi, kemudian dikorelasikan berdasarkan motif-motif koeksistensi peribahasa itu. Koeksistensi muncul akibat tiga hipotesis, yaitu (1) pandangan yang sama terhadap dunia sekitar walaupun mereka berasal dari masyarakat berbeda bahasa dan wilayahnya, (2) pengalaman hidup yang dialami secara bersama dan berulang-ulang, (3) keinginan untuk menirukan kearifan peribahasa yang baik dari masyarakat bahasa yang berbeda. Tentu saja, hipotesis yang disajikan ini akan lebih menarik jika diujikan kepada sejumlah informan atau responden dari ke-7 negara tersebut.
Isu bilingualime sebenarnya tidak hanya dapat dianalisis dengan metode korelasi. Isu ini juga dapat dianalisis dengan metode operasi atau distribusi. Sebagaimana dikemukakan di bagian depan, kemungkinan pilihan metode analisis ditentukan oleh masalah yang akan dipecahkan. Jika masalahnya adalah untuk mengetahui derajat kebilingualan seseorang, maka metode operasilah yang tepat untuk digunakan. Sebagaimana diuraikan Mackey (1968, via Romaine, 1989) ada empat kegiatan berbahasa yang dapat mengukur derajat kebilingualan seseorang, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Selain itu, tataran bahasa yang berkaitan dengan kegiatan berbahasa tadi menyangkut tataran fonologi, gramatika, leksikon, semantik, dan stilistika. Dengan penguraian aspek-aspek internal bahasa berikut pendistribusiannya dalam kegiatan berbahasa ini jelas bahwa metode yang tepat untuk kajian semacam ini adalah metode operasi atau metode distribusi.
Tidak ada ketentuan sebuah isu atau masalah penelitian hanya dapat dianalisis oleh satu jenis metode, bahkan kombinasi keduanya pun dapat dibenarkan sejauh kedua metode itu berasalan untuk digunakan. Kegiatan penelitian semacam ini pernah dilakukan Arimi (2005b) ketika ia meneliti kearifan peribahasa menurut sejumlah responden dari dua masyarakat berbeda, yaitu masyarakat Jepang (142 responden) dan Indonesia (197 responden). Untuk mencapai penelitian tersebut, Arimi (2005b) melakukan dua jenis penyelidikan Penyelidikan pertama berdasarkan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kuesioner dan penyelidikan kedua berdasarkan penelitian eksperimen dengan metode yang sama. Penyelidikan pertama dilakukan dengan menanyakan definisi peribahasa dan koleksi peribahasa yang responden ingat. Penelitian lapangan semacam ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pemahaman terhadap peribahasa secara empirik dan mengkaji popularitas peribahasa dalam ingatan masyarakatnya. Penyelidikan kedua dilanjutkan dalam bentuk eksperimen. Peneliti, yang juga menggunakan kuesioner, berikutnya mengamati sejauh mana responden mengetahui peribahasa-peribahasa yang telah dipilih secara random. Para responden diidentifikasi pemahamannya lewat kategori identifikasi seperti, sangat tidak familiar, tidak familiar, ragu-ragu, familiar, dan sangat familiar. Dengan penelitian eksperimen ini peneliti mendapatkan data orisinil untuk memeriksa frekuensi popularitas peribahasa pada masyarakat secara acak. Hasilnya diharapkan dapat mengkroscek penelitian lapangan sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian Arimi (2005b) di atas, metode korelasi digunakan untuk melihat fakta pemakaian peribahasa dengan masyarakat penuturnya berikut alasan-alasan yang dipakai. Hasilnya menunjukkan sebuah fakta sosiolinguistik bahwa ada sejumlah peribahasa yang populer di Jepang dan ada sejumlah lainnya yang populer di Indonesia. Dari sejumlah peribahasa tersebut ditemukan bahwa peribahasa yang paling populer di Jepang adalah ”saru mo ki kara ochiru” (kera sekalipun akan jatuh dari pohon), dan peribahasa paling populer di Indonesia adalah ”Tong kosong nyaring bunyinya”.
Selain metode korelasi, metode operasi atau metode distribusi juga dipakai untuk memecahkan masalah mengapa peribahasa yang satu lebih populer daripada peribahasa lainnya. Dengan cara menghubungkan peribahasa populer dengan yang tidak populer tetapi kedua peribahasa atau lebih itu memiliki makna yang sama, peneliti menafsirkan berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam bentuk atau makna peribahasa itu dengan cara mengurai, mengganti, menambah atau menghilangkan sebagian unsur yang dapat memberi penjelasan kaidah mengapa peribahasa A lebih populer dari peribahasa B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa popularitas peribahasa sebenarnya ditentukan tingkat kompetisi peribahasa itu dengan peribahasa lainnya. Berdasarkan analisis maknanya, semakin dekat kearifan peribahasa kepada kebutuhan masyarakat pemakainya dipandang semakin kompetitif peribahasa itu. Hasil lain secara bentuk, diketahui bahwa tidak kompetitifnya peribahasa bisa dikaitkan dengan pilihan leksikon dan dialek yang kurang disukai.

6. Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, menurut sistem tanda, hasil analisis bahasa direproduksi dalam berbagai bentuk nonbahasa, seperti simbol, ikon, indeks, atau sistem tanda lain yang diwujudkan dalam bentuk tabel, grafik, bagan, skema, dan gambar. Karena sangat erat kaitannya dengan sistem tanda ini, agaknya metode ini dapat diperkenalkan sebagai metode semiotik. Dalam pengertian yang serupa, Sudaryanto (1993) menyebutnya sebagai metode formal.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1 adalah k1 , maka proposisi2 adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode semiotik, peneliti perlu memperhatikan logika dan seni visualisasi sistem tanda. Besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek, arsiran-tidak arsiran sebuah sistem tanda yang disajikan dalam tabel dan seterusnya tersebut dapat menaksir logika dan seni visualisasinya. Namun demikian, isi hasil analisis verbal dipandang lebih akuntabel daripada indahnya visualisasi sistem tanda.

7. Penutup
Hasil analisis dengan menggunakan berbagai metode di muka pada dasarnya akan mengujikan dua asumsi pokok dalam sosiolinguistik, yaitu pertama, penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, kedua, pemakaian bahasa dalam masyarakat selalu bervariasi. Dalam pada itu, dalam melihat hubungan antara bahasa dan konteks sosial budaya, Wardhaugh (1986: 10-11) menyatakan kemungkinan hubungan itu ke dalam empat korelasi.
Pertama, struktur sosial dapat mempengaruhi dan menentukan struktur atau perilaku bahasa. Salah satu contoh hubungan ini berkaitan dengan fenomena ragam-umur (age-grading). Anak-anak berbeda bicaranya dengan remaja, demikian pula remaja berbeda bahasanya dengan orang dewasa. Cara berbicara, pilihan kata dan kaidah dalam percakapan sangat ditentukan oleh realitas sosial umur ini.
Kedua, hubungan yang sebaliknya dari yang pertama, yaitu struktur dan perilaku bahasa dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial. Hubungan ini dapat dilihat dari Hipotesis Whorf, teori Ragam Bahasa Bernstein dan teori yang mengatakan bahasa adalah seksis. Hipotesis Whorf atau dikenal juga hipotesis Whorf-Sapir berargumentasi bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia, sedangkan ragam bahasa Bernstein berpandangan bahwa tuturan lengkap (elaborated code) dipakai di kalangan anak-anak kelas menengah, sedangkan tuturan ringkas (restricted code) dipakai di kalangan anak-anak kelas bawah (buruh). Sementara itu, teori yang mengatakan bahasa adalah seksis berpandangan bahwa cara bahasa digunakan (baik laki-laki maupun perempuan) bisa mengindikasikan stereotipe jender dan laki-laki dianggap jenis kelamin yang berperan penting (Lund, 2003: 35-36).
Ketiga, hubungan keduanya adalah timbal-balik. Bahasa dan masyarakat mempengaruhi satu sama lain. Saling pengaruh ini bersifat dialektal, sebagaimana dikutip Dittmar bahwa kaum Marxis berpendapat bahwa perilaku bahasa dan perilaku sosial merupakan interaksi yang konstan.
Terakhir, struktur bahasa dan struktur sosial tidak berhubungan sama sekali. Karena itu, masing-masingnya berdiri sendiri. Pandangan ini diperkenalkan oleh Chomsky yang dalam berbagai tulisannnya memberi satu pandangan bahwa bahasa adalah a-sosial.


DAFTAR RUJUKAN
Aikvenhald, Alexandra Y. 2003. “Multilingualism and Ethnic Stereotypes: The Tariana of Northwest Amazonia”. Dalam Language in Society. No. 32. USA: Cambridge University Press. Hal. 1-21.
Arimi, Sailal. 2005a. “Hypotheses of International Proverb Similarity (IPS Hypotheses)”. dalam Sumijati Atmosudiro dan Marsono (editor). Potret Transformasi Budaya di Era Global. Yogyakarta: Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan Pengembangan, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Arimi, Sailal. 2005b. “Contested Wisdom in Indonesian and Japanese Proverbs, A Linguistic-Cultural Mapping.” Dalam Studies in Urban Cultures. Vol. 6. Osaka: UCRC, Osaka City University. Hal. 76-101.
Asher, R.E. 1994. The Encyclopedy of Language and Linguistics. Oxford: Pergam.
Chaika, Elaine. 1982. Language the Social Mirror. Massachussetts: Newbury House Publishers, Inc.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.
Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. (Cetakan ke-6). Harlow Essex: Longman Group Limited.
Hymes, Dell. 1970. “ Linguistic Method in Etnography: Its Development in the United States” dalam Paul L. Garvin. Method and Theory in Linguistics. The Hague, Paris: Mouton.
Kartomiharjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dpedikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Koentjaraningrat (editor). 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (cetakan ke-13). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lund, Nick. 2003. Language and Thought. London dan New York: Routledge.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. (Cetakan ke-4). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nasution. 2004. Metode Research, Penelitian Ilmiah. (cetakan ke-7). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. 1993. Metode Penelitian Komunikasi. (edisi kedua cetakan ketiga). Bandung: PT Rosdakarya.
Romaine, Suzanne. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Schriffin, Deborah. 1987. “Discovering the Context of An Utterance”. Dalam Linguistics. N. Dittmar (editor). Hal. 11-32.
Spolsky, Bernard. 2003. Sociolinguistics. (Cetakan ke-4). Oxford: Oxford University Press
Subroto, D.Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Salah satu prestasi signifikan yang diraih Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rentang sejarah lima puluh tahun pertama organisasi ini berdiri adalah berhasilnya PBB menyusun satu deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Hak Asasi manusia (HAM). Sejak pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang, baik itu oleh akademisi, pers, organisasi pemerintah, Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, maupun para aktivis HAM disemua level; domestik, regional dan internasional. Isu ini terus menggelinding dari mulai mendiskusikan tentang pentingnya suatu negara menjunjung tinggi HAM sampai perlu diadilinya para pelanggar HAM, bahkan perlunya mengembargo negara yang tidak memperdulikan hak yang paling asasi bagi manusia ini.

Perdebatan wacana Islam dan HAM yang dimulai sejak awal diperdebatkannya Deklarasi Universal HAM belum selesai hingga kini Namun tidak berarti pergulatan praksis dari mereka yang menuntut implementasi HAM tidak ditemui di negara-negara yang menerapkan otoritaritariame Islam sekalipun. Sehinga belum selesainya perdebatan dalam level wacana tidak menghalangi implementasi dalam praksis di sebagian dunia Islam. Tetapi tata dunia mutakhir yang praktis berpusat pada super power yang tunggal, yaitu Amerika yang lebih khusus neoliberalisme, seolah kian menjauhkan pencarian titik temu keduanya.

A- Ham Neolibralisme
Neoliberalisme yang secara prinsip mengedepankan nir-negara dalam pengelolaan publik khususnya ekonomi, ternyata tidak saja liar dengan berpusat pada modal-modal besar yang berpangkalan di Amerika dan Eropa melainkan mereka secara efektif menggunakan pusat-pusat birokrasi dunia yang berhulu di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Joseph Stigilitz (2002), misalnya, bekas presiden Bank Dunia--penerima Anugerah Nobel bidang ekonomi tahun 2001--, menunjukkan bahwa tiga serangkai birokrasi keuangan dan pedagangan dunia yaitu Bank Dunia (BD/WB), Dana Moneter Internasional (DMI/IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO) setali tiga uang dengan PBB yang tidak lain, menurut Stigilitz, adalah birokrasi neoliberalisme.
Seperti watak birokrasi lainnya, menurut Stigilitz, problem mendasar dari birokrasibirokrasi dunia itu adalah terjadinya penyumbatan aspirasi masyarakat. Para representatif di dalam lembaga-lembag itu, termasuk PBB, tidak selalu atau bahkan sering bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan orang banyak di negara-negara masing-masing. BD diwakili oleh para gubernur bank sentral, sedangkan IMF diwakili menteri keuangan, sementara WTO oleh menteri perdagangan dari masing-masing negara anggota. Dengan demikian pula, kecuali negara-negara yang “secara gagah berani” menentang peran mereka seperti beberapa negara di Amerika Latin, maka hampir keseluruhan birokrasi negara di dunia adalah kepanjangan tangan dari neoliberasisme.

Stigilitz memperkirakan, kini 80 persen ekonomi dunia dikuasai oleh tidak lebih dari 20 persen orang, sedangkan 20 persen aset dunia terdistribusi kepada 80 penduduk dunia. Sebagian besar rakyat di negara dunia ketiga dan bekas negara komunias berpenghasilan US $ 1 sampai US $ 2 per hari. Komposisi yang sama, menurut Direktur ECONIT Hendri Saparini, tercermin dalam penguasaan aset nasional Indonesia. Jika mesin birokrasi dunia ini terus berjalan seperti sekarang maka mungkin dengan berjalannya waktu komposisi itu tidak semakin adil melainkan semakin senjang. Sudah jelas kesenjangan ekonomi dunia antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang dan miskin, antara sektor manufaktur yang kepemilikannya dikuasai oleh negara maju dan pemilik modal dengan sektor pertanian yang berpusat di negara berkembang dan menjadi tumpuan masyarakat miskin di negara-negara yang juga miskin itu. Komposisi yang demikian senjang atas penguasaan aset dunia dan juga di Indonesia tampaknya tidak memungkinkan terjadinya perubahan, jika tidak semakin lebar, manakala tidak ada perubahan relasi birokrasi dunia tersebut.Tetapi fenomena yang ditunjuk oleh Stigilitz itu sebenarnya persis berbalikan dengan dasar filosofi dari neoliberalisme itu sendiri. Dasar filosofi itu adalah bahwa seluruh kegiatan ekonomi bertumpu pada individu, bahwa semua individu adalah wiraswatawan/ti dimana negara tidak diperlukan, termasuk di dalamnya tentu saja adalah lembaga dunia seperti PBB, WB, IMF maupun WTO (B. Herry Priyono, 2003). Setiap orang diperlakukan sama sebagai pelaku ekonomi, dengan demikian semua orang dan individu akan memanfaatkan pasar bebas yang terbuka tersebut.

Namun kenyatannya, seperti juga ditunjukkan oleh tulisan Herry, dengan pasar bebas tersebut bahwa modal besar terutama dari luar negeri tidak mengalir ke negara-negara miskin dan menengah melainkan sebagian besar ke negara maju yang berimplikasi pada terjadinya akumulasi modal pada pemegang modal besar. Hal yang sama terjadi pada tingkat lokal bahwa modal besar akan selalu lebih mampu mengakumulasikan modal ketimbang yang menengah dan miskin. Pada sistem sebelumnya yang dikenal dengan “keynesian” dimana negara berfungsi memberi keseimbangan, semestinya negara melindungi pemilik modal kecil dan menengah dan memberi bantuan sosial kepada mereka yang tidak memperoleh kesempatan dalam kompetisi ekonomi tersebut.

Namun dalam sistem neoliberalisme, negara justeru berbalik menjadi monster bagi warga negara dan instrumen telanjang dari neoliberalisme, yaitu menjadi kepanjangan tangan dari birokrasai dunia yang dikuasasi oleh neoliberalisme. Negara atau birokrasi tersebut, dengan demikian, juga menjadi penjaga dan alat bagi neoliberalisme itu sendiri.

Ada semacam misleading antara tantangan kekinian dengan persolan yang diajukan sebagai keberatan oleh kalangan Islam atas implemetnasi HAM. Kalangan Islam memang mempersoalkan salah satu pasal krusial di dalam DUHAM sejak awal diperdebatkan, namun bukan pasal yang berkaitan dengan tatanan dunia, khususnya bidang ekonomi, melainkan dalam soal agama. Itu pun, tidak dipersoalkan oleh seluruh negara-negara Muslim di dunia melainkan hanya oleh Saudi Arabia yang nota bene negara Wahabi. Menurut catatan aktivis senior HAM dari Iran Abdulaziz Sachadena (1997), Arab Saudi keberatan atas isi pasal 18 DUHAM yang berisi tentang kebebasan beragama yang memasukkan di dalamnya kebebasan berpindah agama karena negara itu mengenal satu kebenaran tafsir agama dan memberlakukan hukuman mati bagi orang yang murtad. Tetapi negara Pakistan dan Iran yang sama-sama negara berideologi dan berdasar Islam bisa menerima pasal tersebut.

Namun kemudian Saudi mampu mempengaruhi negara anggota OKI (Organisasi Komprensi Islam) untuk mempersoalkan pasal-pasal tersebut yang tertuang dalam Deklarasi HAM Kairo dengan menambahkan klausul “selama tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam” terhadap pasal-pasal krusial mengenai agama. Hendak dikatakan di sini bahwa di satu pihak tidak ada respon tunggal bagi negara-negara Islam terhadap DUHAM tersebut, bahkan dalam masalah yang paling krusial sekalipun. Meskipun, akhir-akhir ini dengan menguatnya pengaruh Saudi Arabia atas OKI semakin besar karena dominasi pendanaannya, termasuk terhadap lahirnya Deklarasi HAM Kairo tersebut. Di lain sisi, masalah-masalah yang dianggap krusial bagi negara-negara Islam dan mayoritas Muslim, sejauh ini, bukanlah masalah tatanan ekonomi dunia dan terjadinya ketidakadilan dunia yang disebabkan oleh neoliberalisme melainkan masalah yang berkaitan dengan keyakinan agama.

Di sisi lainnya lagi, tatanan neoliberalisme yang merasuk ke seluruh negara di dunia, ternyata tidak menganggu kekuasaan di negara Muslim umumnya, termasuk negara yang menerapkan otoritarisme Islam lainya Saudi Arabia. Sebaliknya, tatanan neoliberalisme juga tidak terganggu dengan negara-negara yang menerapkan otoriterianisme yang berpusat pada militer, sipil maupun doktrin agama Islam. Neoliberalisme, dengam demikian, bisa hidup di banyak sistem negara, demokratis, semidemokratis maupun otoriter, bahkan yang menerapkan teokrasi (Norena Heertz, 2003).

Secara historis dan prosedural implementasi HAM adalah bagian dari PBB, baik dalam konseptualisasi maupun impelementasinya. Empat serangkai birokrasi ekonomi dunia disebut di atas, yaitu PBB, WB, IMF, dan WTO menjadikan HAM dalam implementasinya tidak bisa dipisahkan dengan keseluruhan struktur yang ada di dalam empat serangkai birokrasi tersebut. Kontrol terhadap implementasi HAM, dengan demikian pula, tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan yang ada di lembaga-lmbaga tersebut. Jika statemen Stigilitz benar bahwa empat serangkai birokrasi dunia itu tidak lain adalah birokrasi neoliberalisme, maka HAM dan implementasinya di seluruh dunia praktis mengabdi kepada kepentingan dan sistem neoliberalisme.

Apakah, dengan demikian, HAM masih bisa dijadikan sebagai bahasa dan strategi emansipasi dan liberasi kelompok-kelompok tertindas dan negara-negara miskin? Jawabannya tidaklah hitam putih. HAM memiliki berbagai dimensi, dua di antaranya adalah dimensi nilai dan dimensi prosedur. Sebagai nilai ia bisa diangkat ke tingkat universal yang terkandung di dalam berbagai nilai dalam masyarakat di seluruh dunia. Meskipun ide DUHAM berasal dari sebagian besar orang Barat tetapi secara prosedural ia telah diperdebatkan secara mendalam dan melibatkan representasi dari seluruh bagian dunia (Geoffrey Robertson, 2000).

Pertentangan antara blok Komunis dan Kapitalis dalam sejarah pembentukan DUHAM dan derivasinya jauh lebih menegangkan dan substansial ketimbang, misalnya, dengan representasi dari kalangan Islam. Perdebatan dan tarik menarik yang menegangkan itu kemudian melahirkan dua konvensi yang mencerminkan dua orientasi ideologi dan kepentingan keduanya, yaitu hak-hak sipil dan politik (SIPOL) yang merupakan ajuan blok kapitalis dan hak-hak ekonomi sosial budaya (EKOSOB) sebagai aspirasi dari blok komunis. Dari sini jelas bahwa sementara blok kapitalis lebih mengedepankan kebebasan individu dalam politik, maka blok komunis menekankan pada pentingnya kolektivitas dan keadilan ekonomi. Tetapi dengan runtuhnya negara-negara komunis, maka implementasi dari aspirasi itu dengan sendirinya tidak memperoleh perhatian yang layak. Tidak ada lagi kekuatan yang mampu mengontrol hegemoni kapitalisme yang dikomandoi Amerika secara politik.

Neoliberalisme secara ekonomi. Bukan hanya pada tingkat dunia melainkan juga pada tingkat negara. Bagaimana kita bisa membayangkan, ketika ribuan korban Lupur Lapindo hidup sangat sengsara karena tidak memperoleh perlakuan dan ganti rugi yang layak, sedangkan pengusaha pemilik Lapindo Brantas yang notabene anggota Kabinet pemerintahan yang sedang berkuasa medapatkan titel orang terkaya di ASEAN. Betapa lemahnya kekuatan negosiasi rakyat dan perlindungan negara terhadap korban seperti Lumpur Lapindo tercermin dari rakusnya penguasa modal itu, yaitu bahwa korban diharuskan menyerahkan sertifikat tanah ketika dibayar ganti rugi 20 persen dan negara ikut konstribusi barupa budget nasional untuk mengatasi kerakusan itu. Di samping itu, negara juga diharuskan ikut menanggung kerugian kecerobohan pengelolaan tambang
Sekali lagi, apakah dengan demikian, seluruh jalan hidup bagi orang miskin sudah terkunci? Untuk membangun optimisme tampaknya memang diperlukan tilikan yang lebih teliti atas prinsip-prinsip HAM bukan hanya pada prosedurnya melainkan juga pada nilai-nilai idealnya. Secara prinsip (Geoffrey, 2000) nilai-nilai HAM berpusat pada individu dan kolektif. Artinya setiap individu dan kolektif memiliki hak-hak yang prinsip yang tidak bisa dilanggar oleh pihak lain, baik individu maupun negara. Hak-hak tersebut, dengan demikian, melekat pada individu dan kelompok tersebut.

Prinsip kedua adalah bahwa tanggungjawab penegakan HAM ada pada negara bukan pada individu dan kelompok. Meskipun semua orang dan semua kelompok harus menghormati HAM pihak lain atas prinsip resiprositas tetapi tanggungjawab penegakan HAM ada pada negara yang dijalankan oleh pemerintah. Dengan prinsip ini maka semua orang dan kelompok sesungguhnya memiliki kepentingan yang sama untuk dihormati dan ditegakkan hak-haknya. Semua orang dan kelompok pada prinsipnya tidak terhalangi apapun untuk bekerjasama dalam menuntut dihormatinya hak-hak mereka. Dalam konteks internasional, tanggungjawab penegakan HAM pada PBB sebagai perserikatan negara-negara berdaulat.

Di lain pihak, hak-hak itu tidak mungkin bisa ditegakkan secara baik di negara-negara yang tidak menghormati HAM. Karena itu ada kesamaan titik di semua orang dan kelompok sesungguhnya bahwa setiap orang memerlukan negara dan pemerintah untuk menegakkannya. Di lain pihak, semua orang yang ingin haknya dihormati sudah pasti tidak bisa menghindari dari tatapannya pada negara dan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah adalah pusat dimana setiap orang atau warga negara memiliki kepentingan untuk dihormati hak-haknya.

Dalam hal hak-hak ekonomi untuk keluar dari kemiskinan akut di dunia, misalnya, pendapat Hernando De Soto (2001) mungkin yang paling moderat tetapi menghentak. Menurutnya, kesenjangan ekonomi dunia dan kemelaratan yang menimpa negara-negara dunia ketiga dan negara-negara bekas komunis bukanlah karena kerakusan dan konspirasi negara Barat dan kapitalisme yang monopolistik melainkan karena tiadanya sistem di negara-negara dunia ketiga dan bekas komunis tersebut untuk masuk ke dalam sistem yang terbangun secara rapih di negara-negara Barat yang tidak lain adalah sistem kapitalisme dunia. Maka, jika negara-negara dunia ketiga dan bekas komunis ingin ikut terangkat dalam sistem ekonomi dunia itu, lanjut Soto, haruslah menyesuaikan dalam prinsip yang ada di sistem tersebut. Yaitu, apa yang dia sebut sebagai, “mentransformasi aset menjadi kapital.”

Orang-orang miskin di dunia ketiga dan negara bekas komunis, hidup dalam kubangan apa yang dia sebut “dead capital (kapital yang mati).” Tanah, rumah, dan tenaga serta sumberdaya manusia, menurut Soto, di negara-negara itu hanya teronggok menjadi aset tetapi tidak digerakkan menjadi kapital yang hidup yang terus berkembang. Hanya dengan cara, kira-kira Soto ingin mengatakan, mentransformasi aset menjadi kapital yang hidup inilah orang-orang yang sangat miskin di negara-negara dunia ketiga dan negara komunis memiliki hak kepemilikan (property rights) (hlm. 15). Di dalam kata-kata Soto sendiri, kata hak mulai muncul dan, dalam perspektif HAM, property rights adalah salah satu elemen penting di dalam prinsip HAM. Di sisi lain, jika property rights ini bisa diangkat menjadi hak individu dan kelompok yang menguasai, mungkin bisa menjadi titik masuk untuk menuntut hak-hak yang lain seperti hidup yang layak, hak partisipasi politik, hak pendidikan, dan juga hak berekspresi dan sebagainya. Dan, sekali lagi negaralah yang seharusnya menjalankannya.

Beberapa negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brasil dan Argentina, yang kini sedang bergolak menyeruakkan kembali neo-sosialisme bisa menjadi tilikan menarik untuk hal ini, meskipun tidak persis sama dengan yang mungkin diinginkan Soto di atas. Fenomena uskup Fernando Lugo di Paraguay (Kompas, 16/8/8, hlm. 10) yang meninggalkan Tahta Suci Keuskupan di negara sangat miskin di Amerika Latin itu untuk sementara dan merebut kursi presiden dengan tujuan membela rakyat miskin menjadi contoh paling fenomenal saat ini. Artinya, negara tetap menjadi pusat dimana sutau harapan digantungkan untuk ditunaikannya hak-hak warga negara dan harus ditegakkannya HAM. Di sisi lain, Paraguy adalah anggota PBB yang dengan sendirinya memiliki kepentingan untuk menjadikan PBB sebagai alat untuk menegakkan HAM warga negaranya.

Tetapi jangan lupa bahwa apa yang dilakukan oleh Fernando Lugo di Paraguay ini adalah ujung akhir dari sebuah proses dan bukan awal daripadanya, tetapi dalam waktu yang sama adalah awal dari sebuah perjuangan vis a vis neoliberalisme dan bukan akhir darinya. Secara historis gejolak di Amerika Latin yang dengan fenomena mutakhirnya Fernando Lugo ini tidak lepas dari sejarah dan peran Teologi Pembebasan. Apa yang dilakukan oleh Teologi Pembebasan adalah membangun struktur (kesadaran) alternatif dari herarki di dalam Gereja Katolik Roma yang sangat kuat, hirarki mana pada saat itu dipengaruhi dan bahkan dikooptasi secara kuat oleh kekuasaan lokal yang otoriter yang didikte oleh kepentingan kapitalisme global yang menggerus kemampuan negara dan hahak individu warga negara. Dimulai dari satu dua Romo, mereka membangun kesadaran baru tentang hak-hak dasar dari orang miskin dan kemudian diangkat sebagai tafsir atas Kitab Suci yang hidup yang menjadi keyakinan mereka. Maka terbangunlah kesadaran baru tentang keberadaan kemiskinan dan struktur yang menindas. Dari sanalah terbangun sebuah struktur hirarki (kesadaran) baru yang bersaing dengan struktur hirarki yang mapan (Levine, D. H., 1992).

Pada gilirannya struktur (kesadaran) baru itu menggoncang hirarki mapan, dan karena hirarki mapan itu berhimpitan dengan hirarki kekuasan dan sistem global, maka dengan sendirinya mereka ikut terguncang. Dari sanalah kemudian diperkenalkan apa yang secara luas dikenal dengan conscience atau collective conscience oleh Paulo Freire (1998), yang kemudian kesadaran baru tersebut menyebar ke hampir seluruh aspek kehidupan, bukan hanya tafsir agama melainkan juga sistem pendidikan, kreasi film, ilmu pengtehuan, kelompok sosial dan bahkan pengelolaan negara dan teori serta sistem ekonomi (Penny Lernoux, 1979).

Namun, setidaknya menurut lacakan dari Penny Lernoux itu, kesadaran baru dalam Teologi Pembebasan pertama-tama bukanlah dari kesadaran agama dan bahkan kemiskinan itu sendiri, melainkan dari kesadaran akan hak, yaitu hak asasi manusia tentang hak untuk hidup yang layak, hak pendidikan dan hak partisipasi politik di bawah otoritarianisme militer, mengingat di negara-negara Amerika latin saat itu kesenjangan ekonomi begitu tinggi dan otoritarianisme militer begitu mencekam. Dan, lebih dari itu, kekuasaan otoritarian itu tidak lain adalah alat dari sistem ekonomi global untuk mengeruk seluruh kekayaan rakyat dan negara itu.

Kronologi perjalanan struktur (kesadaran) baru itu kurang lebih sebagai berikut:
- Kesadaran hak
- Peguatan kesadaran melalui agama
- Membangun struktur hirarki (kesadaran) aternatif
- Terbangunnya ilmu pengetahuan baru dan teori-teori sistem sosial dan ekonomi
- Mendesak perubahan hirarki & sistem pemerintahan dan ekonomi

Dengan demikian, dalam hemat saya, gurita kekuasaan dan kerakusan sistem neoliberalisme yang mendalam justeru menunjukkan kian penting dan relevansinya kesadaran akan hak dan tidak lain adalah hak-hak asasi manusia. Namun, yang diperlukan adalah suatu kesadaran dan prosedur baru yang bertumpu pada kesadaran yang menyeluruh dalam kehidupan dan tidak menyerahkan kepada birokrasi global a la neoliberalisme yang mapan.

B- Hubungan Islam dan HAM
Hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, meskipun terlihat sebagai isu yang klise,tetap saja menarik untuk dikaji mengingat sebagai gagasan universal, HAM selalu relevan dengan perkembangan zaman. Dalam Islam, perdebatan tentang HAM biasanya berkisar tentang kesesuaiannya dengan ajaran Islam. Perdebatan itu, dalam banyak hal,tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa konsep-konsep itu berkembang dari dunia Barat, sebuah dunia yang secara diametral sering dihadapkan dengan Islam.Barat menjadi faktor yang cukup penting dalam mendiskusikan persoalan-persoalan modern, dalam hubungannya dengan Islam, karena modernisasi yang dialami oleh duni Islam, di antaranya, bermula dari interaksi Islam dan peradaban Barat modern. Karena itu, tidak mengherankan ketika muncul sejumlah pendapat mengenai hak asasi manusia ini ketika dihubungan dengan Islam dan Barat. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah sebuah konsep modern yang sama sekali tidak memiliki akar dalam tradisi Islam. Hak asasi manusia adalah ciptaan Barat dan dengan demikian,masyarakat di luar Barat modern tidak memiliki konsep hak asasi ini.

Di sisi lain, ada pendapat yang sangat bertentangan dengan pendapat ini, yang mengatakan bahwa Islam tidak harus mengadopsi hak asasi manusia, karena pada dasarnya, konsep itu merupakan bentuk lain imperalisme Barat. Di antara dua pendapat ekstrem ini, terdapat pandangan yang meyakini bahwa Islam memiliki konsep hak asasi

Manusia yang sesuai dengan hak asasi manusia modern yang diperkenalkan oleh Barat itu. Sehingga, secara formal-konseptual, menurut pandangan ini, hak asasi manusia memang lahir di Barat, tetapi bukan berarti Islam tidak memilikinya.

Negara-negara muslim seringkali mengalami tuduhan sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan sendirinya, secara implisit maupun eksplisit, tuduhan mengarah kepada ajaran Islam. Bahwa Islam adalah agama yang tidak memberikan perhatian dan perlindungan pada hak asasi manusia. Tuduhan seperti ini memang lebih banyak bermotif politik dan didasari oleh stereo tipe negara-negara Barat terhadap Islam tidak bisa dipungkiri bahwa di negara-negara muslim sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia, tetapi apakah pelanggaran serupa tidak terjadi di negaranegara. Tidak bisa dipungkiri bahwa di negara-negara muslim sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia, tetapi apakah pelanggaran serupa tidak terjadi di Negara negara non-muslim? Jawabannya tentu saja ya. Bahwa pelanggaran serupa terjadi di negara-negara non-muslim. Sampai di sini persoalan tidak selesai, karena akan muncul perdebatan bahwa jika muncul pelanggaran hak asasi manusia, negara-negara muslim cenderung lamban dalam menyelesaikannya, dan tidak jarang hilang serta terlupakan begitu saja. Sementara negara-negara non-muslim memiliki mekanisme yang jelas dan terukur dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia. Jika asumsi semacam ini benar, maka tidak harus serta merta semua dihubungkan dengan Islam. Secara konseptual, seperti akan dibahasa pada bagian berikut, Islam memiliki seperangkat doktrin yang mendukung tegaknya hak asasi manusia. Hanya saja, ketika masuk ke dalam kerangka kebijakan politik tertentu, Islam mengalami reduksi besar-besaran. Sayangnya, reduksi terhadap doktrin dasar Islam itu seringkali mengatasnamakan Islam. Lagipula, pergulatan Islam dengan situasi kemasyarakatan tertentu menjadi faktor yang kadang-kadang dilupakan dalam membaca pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di negara-negara muslim. Malaysia dan Saudi Arabia bisa diambil sebagai contoh. Telah menjadi permakluman umum bahwa kedua negara ini memberlakukan syari’ah Islam sebagai hukum negara. Tetapi pada saat yang bersamaan kita menyaksikan pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja, utamanya yang berasal dari Indonesia, justru kerap terjadi di kedua negara ini.Apa yang bisa kita ajukan untuk memahami fenomena semacam ini Jika dikembalikan kepada ajaran dasar Islam, tidak diragukan lagi tindakan penyalahgunaan dan penelantaran hak-hak pekerja seperti itu merupakan pelanggaran.

Persoalannya, ketika sudah berbicara tentang kepentingan politik dan ekonomi, Islam seringkali dijadikan tameng untuk membenarkan dan melindungi tindakan-tindakan tertentu yang oleh Islam justru dilarang. Maka haruslah difahami Islam sebagai sebuah ajaran universal dan ideal dengan implementasi atas ajaran Islam yang bersifat partikular, lokal dan tak jarang bersifat tendensius. Dalam konteks Malaysia dan Saudi Arabia yang dijadikan contoh tadi, kesalahan tidak semestinya ditimpakan kepada Islam, melainkan kepada kedua pemerintahan itu –dan pemerintah-pemerintah negara muslim lain yang memiliki kesamaan dengan keduanya-- yang secara berani dan vulgar menyatakan diri sebagai negara syari’ah tapi justru mengingkari prinsip-prinsip syari’ah.


Daftar Pustaka:
- England. Abdulaziz A. Sachadena et. al., 1997, (terj.) Kebebasan Beragama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar – Academia.
- B. Herry Piyono, 2003, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I Wibowo
- Geoffrey Robertson QC, 2000, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, KOMNASHAM, Jakarta.
- http://www.syarikat.org/trackback/

Chairil Anwar (1922-1949)

Penyair Legendaris Indonesia
Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996). ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber

PUISI - PUISI CHAIRIL ANWAR

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! (1948)

Siasat, Th III, No. 96, 1949

================================

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957

==================================

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi (1948)

Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

==============================

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954

=========================

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)

Liberty, Jilid 7, No 297, 1954

==========================================

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

===============================

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

===================================

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

==========================


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

================================

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

==================================

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946

==================================

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
(1946)

==================================

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
(1947)

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
(1949)

============================

DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
(1949)